posted by : Niswatul Lutfiana
1.
Affandi
Koesoema
( Cirebon , Jawa Barat, 1907 – 1990 )
Dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia
internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak
mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi
telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
Gaya
lukisanya tersebut belum pernah ada, atau belum pernah diciptakan oleh pelukis
sebelumya. Gaya aliran Lukisanya merupakan gaya baru dalam aliran lukisan
modern khususnya ekspresionism Abstrak. Karya-karya Lukisanya banyak
mendapatkan apresiasi dari para pengamat seni baik dari dalam dan luar negeri,
beliau aktif berpameran tunggal di Negara-negara seperti: Inggris, Eropa,
Amerika dan India, pada masa Tahun 1950-an. Karyanya telah tersebar diseluruh
pelosok Dunia dan dikoleksi oleh para Kolektor kelas lokal dan Dunia.
Affandi
putra
dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki
pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh
pendidikan HIS, MULO,
dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak
negeri.
Pada
umur 26 tahun, pada tahun 1933,
Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor.
Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat
ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah
menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat
gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini
tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar
tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima
Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka
itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi
serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai
pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi)
pada tahun 1938,
melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja
sama saling membantu sesama pelukis.
Pada
tahun 1943,
Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang
saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat
Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan Kyai
Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan
Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan
Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.
Soedjojono sebagai
penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini
diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan
tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata
itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu
menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya sudah putus. Yang
dijadikan model adalah pelukis Dullah.
Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan
usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok
pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada
diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat,
dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis diSantiniketan, India,
suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath
Tagore. Ketika telah tiba di India,
dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan
melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk
mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang
dari India, Eropa,
pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk
mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah
dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya
Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi
angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang
dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik
yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan
dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis
rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi
mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi
juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang
dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama
Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada
tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai
'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu
Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi
pun, pameran di sana.
Ketika
sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi
yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi
persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi
dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan
kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski
sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe
bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila
memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak,
seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun,
Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang
itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang
tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang
digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih
begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali
Gajahwong Yogyakarta.
"Wajah - wajah putra Irian" , media lukisan cat
minyak diatas canvas, ukuran 98cm X 126cm, dibuat tahun 1974
Basuki Abdullah
merupakan seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang
tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu
Doktor Wahidin Sudirohusodo.
Sejak umur 4 tahun Basuki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal
diantaranya gandhi .
Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan
Pastur Koch SJ, Basuki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk
belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den
Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam
waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International
of Art (RIA).
Pada
masa Pemerintahan Jepang, Basuki Abdullah
bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada
tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basuki Abdullah mendapat
tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan
kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain
organisasi Poetra, Basuki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka
Sidhosjo(sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang)
bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan
Basuki Resobawo.
Lukisan
"Balinese Beauty" karya Basuki Abdullah yang terjual di tempat
pelelangan Christie's diSingapura pada
tahun 1996. Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basuki Abdullah, putera Indonesia yang
mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basuki
Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan
berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana
banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.
Beliau
adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Dusamping
itu dikenal sebagai pelukis aliran
realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana
Merdeka Jakarta dan
karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia,
disamping menjadi barang koleksi dari penjuru dunia.
Salah
satu lukisan Basuk Abdullah berjudul " Diponegoro memimpin pertempuran
" media lukisan cat minyak diatas canvas, ukuran 150cm X 120cm, dibuat
tahun 1940
Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip
Hoesen, tinggal di daerah Terbaya, dekat Semarang. Sejak usia 10 Tahun, ia
diserahkan pamannya,Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di
Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di Sekolah
Rakyat (Volk-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya
masuk ke lingkungan orang Belanda dan
lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar
Reinwardt,
pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur
Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan
pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya.
Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang
didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di
Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif
memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun
mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda,
ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni
lukis Barat
dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat
minyak.
Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari
model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar
tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan
agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini
didukung oleh Gubernur Jenderal Van
Der Capellen yang
memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris
bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal
de Kock,
Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun,
keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk
Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda
Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan
kebiasaan orang Jawa, Bahasa
Jawa,
dan Bahasa
Melayu.
Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh. Dalam suasana panik Raden Saleh muncul
dari balik pintu lain. “Lukisan
kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu
manusia“, ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun
kemudian pergi.
Itulah
salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua
tahun pertama ia pakai untuk memperdalam Bahasa
Belanda dan
belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima
tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelius
Krussemen dan tema
pemandangan dari Andreas
Schelfhout karena
karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu.
Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan
keluarga kerajaan
Peringatan dan penghargaan :
Tahun 1883, untuk
memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya di Amsterdam, di
antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu
Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran
Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja Willem
III dan
Pangeran Van
Saksen Coburg-Gotha.
Memang banyak orang kaya dan
pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi pelukis yang semasa di mancanegara
tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon. Di
antara mereka adalah bangsawan Saksen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan
sejumlah gubernur jenderal seperti van
den Bosch, Baud, dan Daendels.
Tak sedikit pula yang
menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di dada.
Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de
Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur
met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder
der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder
van de Witte Valk (R.W.V.),
dll.
Sedangkanpenghargaandaripemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat DepartemenPendidikandanKebudayaan, secara anumerta berupa Piagam
Anugerah Seni sebagai Perintis
Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan
ulang makamnya di Bogor yang
dilakukan oleh Ir.
Silaban atas
perintah Presiden Soekarno, sejumlah
lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT
mengeluarkan perangko seri Raden
Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar
binatang buas yang sedang berkelahi.
Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh
berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan
dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris,
Perancis.
Salah
satu karya lukisan Raden Saleh berjudul " Berburu" media lukisan cat
minyak diatas canvas, dikoleksi oleh Museum Mesdag, Belanda.
4. Hendra Gunawan ( Bandung
1918 – 1983 )
Hendra Gunawan Dilahirkan pada
tanggal 11 Juni 1918 di kota Bandung, Jawa Barat dan Wafat di Denpasar Bali
pada tanggal 17 bulan Juli tahun 1983. Hendra Gunawan lebih dikenal sebagai
seorang pelukis, namun dia juga merupakan seniman penyair, pematung dan juga
pejuang gerilya. Selama masa mudanya ia bergabung dengan tentara pelajar dan
merupakan anggota aktif dari Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) dan organisasi yang
dipimpin oleh Sukarno dan lain-lain. Ia juga aktif dalam Persagi (Asosiasi
Pelukis Indonesia, sebuah organisasi yang didirikan oleh S. Soedjojono
dan Agus Djaya pada tahun 1938
Perjalanan Karier :
Dalam
kehidupan Hendra Gunawan cukup beruntung karena dia sempat masuk sekolah dan
belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak
menggali pengetahuan tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata,
tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada grup sandiwara Sunda
sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.
Pertemuannya dengan Affandi
merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi seorang
pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri
melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya.
Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya untuk
berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka Sunda
pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan
pameran bersama.
Revolusipun pecah, Hendra ikut
berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di
front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir
karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”,
disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang
menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi
fokus dalam pemaparan lukisannya.
Akhir Hayat :
Selain
aktif dalam kegiatan melukis, Hendra Gunawan juga aktif dalam kegiatan seni
rupa yang lain seperti seni patung. Salah satu karya Seni Patung Hendra Gunawan
yang masih bisa dijumpai saat ini jika kita berkunjung ke kota Yogyakarta. Di
halaman gedung kantor DPRD Yogyakarta, berdiri sebuah patung batu Jendral
Sudirman yang merupakan hasil pahatan dari Hendra Gunawan.
Pelukis yang merupakan sahabat dekat penyair terkenal Indonesia Chairil Anwar ini lebih memilih Bali sebagai tempatnya menghabiskan waktu usai menjalani masa penahanan. Karena, Bali merupakan tempat para seniman besar yang sudah banyak dikenal sepereti Umbu Landu Paranggi, seorang penyair asal Sumba yang juga berdiam di Bali. Umbu sangat menghormati Hendra Gunawan, sebab selain kemampuannya di bidang seni rupa, Hendra Gunawan ternyata juga mempunyai kemampuan dibidang sastra, terbukti dengan karya-karya puisi yang telah diciptakannya.
Karya terakhir Hendra Gunawan adalah lukisan tentang tenggelamnya kapal Tampomas. Namun, di tangan Hendra Gunawan, kisah tentang kapal itu digambarkannya dengan potret diri yang diserbu oleh ribuan ikan. Namun, hingga akhir hayatnya lukisan tersebut tidak sempat diselesaikannya sebab Hendra Gunawan yang usianya mulai merambat senja harus meninggalkan dunia sebelum lukisan itu berhasil diselesaikan.
Hendra Gunawan kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 17 Juli 1983 di Rumah Sakit Umum Sanglah, Denpasar, Bali. Pemakaman Muslimin Gang Kuburan di Jalan A. Yani, Purwakarta menjadi tempat peristirahatan salah satu pelukis maestro Indonesia ini.
Pelukis yang merupakan sahabat dekat penyair terkenal Indonesia Chairil Anwar ini lebih memilih Bali sebagai tempatnya menghabiskan waktu usai menjalani masa penahanan. Karena, Bali merupakan tempat para seniman besar yang sudah banyak dikenal sepereti Umbu Landu Paranggi, seorang penyair asal Sumba yang juga berdiam di Bali. Umbu sangat menghormati Hendra Gunawan, sebab selain kemampuannya di bidang seni rupa, Hendra Gunawan ternyata juga mempunyai kemampuan dibidang sastra, terbukti dengan karya-karya puisi yang telah diciptakannya.
Karya terakhir Hendra Gunawan adalah lukisan tentang tenggelamnya kapal Tampomas. Namun, di tangan Hendra Gunawan, kisah tentang kapal itu digambarkannya dengan potret diri yang diserbu oleh ribuan ikan. Namun, hingga akhir hayatnya lukisan tersebut tidak sempat diselesaikannya sebab Hendra Gunawan yang usianya mulai merambat senja harus meninggalkan dunia sebelum lukisan itu berhasil diselesaikan.
Hendra Gunawan kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 17 Juli 1983 di Rumah Sakit Umum Sanglah, Denpasar, Bali. Pemakaman Muslimin Gang Kuburan di Jalan A. Yani, Purwakarta menjadi tempat peristirahatan salah satu pelukis maestro Indonesia ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar